Berikut ini 6 (enam) kandungan dari Kitab Al Hikam karya Abu al-Fadil Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdullah bin Isa bin Husain bin Athaillah al-Sakandary.
![]() |
Ngaji kitab Al-Hikam |
Waraksemarang.com - Berikut ini 6 (enam) kandungan dari Kitab Al Hikam
karya Abu al-Fadil Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdullah bin Isa bin
Husain bin Athaillah al-Sakandary.
1. Pasrah kepada Allah Swt
(a) Tidak boleh bergantung kepada amal
“Tanda-tanda orang yang arif dalam amal, ia
tidak membanggakan amal ibadahnya. Berkurangnya harapan kepada Allah ketika
terjadi kekhilafannyakepada Allah.”
Orang yang arif adalah orang yang tidak
membanggakan amal ibadahnya. Orang seperti ini kurang pengharapannya kepada
Allah, ketika ia berhadapan dengan rintangan yang menimpa. Sedangkan sifat
orang yang bijaksana dalam meneguhkan imannya kepada Allah selalu berpegang
teguh kepada kekuasaan yang ada pada Allah.
(b) Penjelasan Perihal orang-orang shadiqin di
dalam tajrid
“Kehendakmu agar semata-mata beribadah, padahal
Allah sudah menempatkan dirimu sebagai golongan orang yang harus berusaha untuk
mendapatkan kehidupan duniamu (sehari-hari), maka keinginan seperti itu termasuk
perbuatan (keinginan) syahwat yang halus. Sedangkan keinginan untuk berusaha,
padahal Allah telah menempatkan dirimu di antara golongan yang semata-mata
beribadah, mengikuti keinginanmu itu, berarti engkau telahturun dari semangat
dan cita-cita yang tinggi”.
Ungkapan tajrid di atas berarti meninggalkan sebab
yang menjadi jalan untuk menemukan apa yang seharusnya dijalankan oleh
orang-orang shadiqin, yakni dengan melaksanakan suatu sebab tidak membiarkan
dirinya jatuh kepada perbuatan yang salah, karena berniat meninggalkan urusan
duniawi,
sebab semata-mata hendak beribadah.
(c) Perjuangan tidak merubah takdir
“Himmah (kuatnya kemauan) yang bergelora, tidak
akan mampu mengoyak tabir takdir Allah.”
Kemauan keras (himmah sawabiq) termasuk suatu
kekuatan yang dimiliki manusia atas izin Allah untuk memperoleh sesuatu yang
dicari dalam kehidupan duniawi. Kemauan keras ini adalah pendorong untuk
memperoleh suatu cita-cita. Namun demikian semangat dan cita-cita hamba Allah,
tetap berkaitan erat iradat dan izin Allah (takdir Allah).
Pada akhirnya segala kekuatan yang dimiliki manusia
itu terbatas dan akan tertambat pada kehendak dan takdir Allah. Karena
cita-cita yang kerasdan bersemangat tidak mampu menerobos takdir Allah. Akan
tetapi dalam banyak hal, ketika seorang merasakan adanya kemauan dalam dirinya
untuk mendapatkan apa-apa yang ia cita-citakan, maka kemauan keras itu
hendaklah tersalurkan bersama gerakan iman yang yang memenuhi seluruh kalbunya.
Karena iman inilah yang mengatur himmah yang
dimiliki oleh seseorang.
(d) Ihwal orang-orang yang arif dalam persoalan
tadbir
“Tenangkan dirimu dari memikirkan urusan
duniawi, karena apa yang telah direncanakan oleh Allah Ta‟ala bagimu, tidak
perlu kamu sibuk memikirkannya”.
Tadbir itu adalah rencana masa depan seorang hamba
sesuai dengan kemauan dan kesanggupannya. Hal ini bukannya tidak diperkenankan
kepada manusia, akan tetapi manusia perlu memahami bahwasannya sebagai sesuatu yang
berlaku dalam hidup di dunia ini, telah diatur oleh Allah Ta‟ala atas diri seseorang,
maka tidak perlu ia ikut mengaturnya.
2. Ikhlas
(a) Ruh amal adalah ikhlas
“Amalan dzahir adalah kerangka sedangkan ruhnya
adalah ikhlas yang terdapat dengan tersembunyi dalam amalan itu.”
Tanda dari semua kemakrifatan dan sifat al-ihsan
kepada Allah tidak lain adalah tekun dan rajin beribadah. Itu semua
dilaksanakan menurut kehendak dan niat tiap hamba. Memperbanyak amal ibadah
juga menurut kemauan dan kemampuan seorang hamba. Ada yang bagus sholatnya, ada
yang bagus puasanya, dan ada pula yang bagus sedekah dan infaqnya.
Di samping itu ada pula yang tekun mempelajari
ilmu. Amal ibadah itu terikat dengan niat seseorang menempatkan niat dalam
hatinya ketika ia beramal. Amal ibadah yang kuat tegaknya dan kokoh ikatannya
dengan iman ialah dilaksanakan oleh hati yang ikhlas. Karena ikhlas adalah roh
amal, dan
amal itu menunjukkan tegaknya iman.
(b) Beribadah hanya kepada Allah
“Barang siapa menyembah Allah karena
mengharapkan sesuatu yang lain, atau karena menolak bahaya yang akan menimpa
dirinya, maka ia belum menunaikan tugasnya terhadap Allah sesuai dengan
sifat-sifat yang dimilki-Nya.”
Amal perbuatan yang dilakukan oleh para hamba
Allah, tidak akan memperoleh apa pun apabila amal tersebut dikaitkan kepada
sesuatu selainAllah. Karena amal seperti itu sangat erat dengan kehendak lain
yang sama sekali tidak bernilai ibadah murni. Amal ibadah yang sampai dan
diterima oleh Allah adalah amal ibadah yang semata-mata didasarkan untuk
mencapai kerindhaan Allah.
(c) Beramal agar termasyur
“Tanamlah wujud dirinya pada tanah yang dalam,
karena tidak akan tumbuh suatu tanaman pun, apabila ia tidak ditanam.”
Tidak ada amal perbuatan yang lebih berbahaya dari
keinginan beramal agar termasyhur. Karena perbuatan itu walaupun demi kebaikan
namamu, akan tetapi bertolak sebagai amal yang ikhlas. Keinginan agar terkenal
sebagai ahli ibadah, apabila diikuti dengan kehendak lain yang bukan ibadah
akan membawa si hamba menjadi angkuh dan lupa diri.
3. Memperbaiki diri
(a) Tanda-tanda hati yang mati
“Diantara tanda-tanda hati yang mati, ialah
tidak ada rasa sedih, apabila telah kehilangan kesempatan untuk melakukan ta‟at
kepada Allah, tidak juga menyesal atas perbuatan (kelalaian) yang telah
dilakukannya”.
Hati yang di dalamnya hidup dengan keimanan akan
merasa sedih apabila iman dan ta‟at itu hilang daripadanya. Hati yang beriman
itu sangatlah senang apabila ia telah melaksanakan kebaikan atau ketaatan.
(b) Jangan meremehkan amal
“Tidak ada amal yang lebih diharapkan memperoleh
pahala, daripada amal yang engkau lihat sangat enteng, dan engkau anggap remeh
keadaannya”
Seorang mukmin sejati beramal semata-mata karena
Allah. Tidak ada maksud lain dibalik amal yang diwujudkan bagi hubungannya
dengan Allah. Seorang hamba wajib melaksanakan amal itu secara kontinyu dalam
bentuk apa pun, dan tidak merasa bosan karena sesuatu dalam mewujudkan
hubungannya dengan Allah.
(c) Penundaan amal ibadah
“Penundaanmu untuk beramal karena menanti waktu
senggang, adalah timbul dari hati yang bodoh”
Adapun sifat hamba yang dungu, adalah orang yang
suka mempermainkan waktu dan bermain-main dengan waktu, dengan cara menunda
amal, atau menomor-duakan amal, sehingga amal ibadahnya tertunda oleh waktu
yang sempit, atau menghabiskan waktu untuk kepentingan yang lain, sehingga
waktu untuk kepentingan yang lain tertinggal.
(d) Yang tersembunyi di dalam hati
“Apa yang tersimpan dan dirahasiakan
keghaibannya (hati), bekasnya nampak pada kenyataan lahiriah”
Ini adalah penjelasan tentang yang ghaib. Tentang
suara dan wujud hati nurani yang ada di kedalaman jiwa manusia. Apa yang nampak
pada keadaan lahiriah seorang hamba, begitu pula keadaan yang ada di dalam
bathiniahnya.
4. Berharap kepada Allah
(a) Harapan dan angan-angan
“Harapan (raja‟) adalah kehendak yang harus
diikuti dengan amal perbuatan, kalau tidak demikian maka hanya angan-angan.”
Sifat raja‟ adalah sifat hamba yang menempatkan
kepada maqam yang mulia, dan termasuk sifat orang yang yakin, tumbuh atas
kesungguhan isi hamba yang suka melaksanakan amal seperti dzikir dan ibadah
yang lainnya.,
(b) Permohonan orang-orang yang arif
“Permohonan orang-orang yang arif, yang
diharapkan dari Allah, agar mendapat kekuatan dalam kesungguhan beribadah dan
tetap teguh menunaikan hak-hak dan kewajibannya kepada Allah.”
Harapan yang diminta oleh para arifin dari Allah
sama seperti para ahli ibadah lainnya, dan para ahli zuhud, ulama‟, dan
lainnya. Tiada lain hanyalah agar sungguh-sungguh beribadah dan teguh kokoh
dalam menegakkan kewajibaan kepada Allah.
5. Mendekatkan diri kepada Allah
(a) Uzlah adalah pintu tafakkur
“Tak ada sesuatu yang lebih bermanfaat atas hati
sebagaimana uzlah, sebab dengan memasuki uzlah alam pemikiran kita akan menjadi
lapang.”
Dalam uzlah alam pikiran manusia akan menjadi
tenang dan luas jangkauannya, wawasan berpikirnya pun bertambah, sedangkan
jiwanya menjadi bersih dan tentram. Dalam keadaan tenang manusia mampu berfikir
tentang ciptaan Allah, dan kebesaran Allah sebagai Maha Penciptaalam semesta
serta isinya.
(b) Buah amal ibadah
“Barang siapa yang dapat merasakan buah amal
ibadahnya di dunia, itulah tanda diterimanya amal ibadahnya di akhirat.”
Buah amal ibadah dapat dirasakan manisnya, dapat
diketahui dari kelezatan dan kenikmatan di waktu seorang hamba melaksanakan
ibadahibadahnya, terasa sebagai nikmat yang tak ada taranya. Apabila seorang
hamba belum mampu merasakan manisnya amal dan ibadahnya, berarti ia belum mengenyam
buahnya ibadah, apabila buah amal ibadah itu belum dirasakan berarti dia belum
mendapatkan sesuatu pun. Di akhirat pun ia tidak menikmati hasil amal ibadahnya
sendiri.
6. Tidak boleh berputus asa
(a) Berbaik sangka kepada Allah Swt
“Jika seorang hamba tidak berbaik sangka
terhadap Allah, karena kebaikan sifat-sifat-Nya, hendaklah kalian berbaik
sangka terhadap-Nya, karena nikmat dan rahmat yang telah kalian terima
dari-Nya. Dia (Allah) hanya membiasakan memberikan nikmat kepada kalian, dan
hanya menhanugerahkan kebaikan kepada kalian”
Boleh berprasangka kepada Allah, selama itu
prasangka baik. Prasangka yang baik adalah prasangka orang-orang yang beriman
dan saleh, yang hanya berharap kepadaa ridho Allah semata. Allah akan tetap
merahmati dan memberkati orang-orang yang berprasangka baik kepada Allah. Baik dengan
sifat-sifat Allah atau karena Allah telah membuktikan pemberian-Nya kepada
manusia dan alam ini.
(b) Maksiat dan rahmat Allah
“Kemaksiatan yang menimbulkan rasa rendah diri
dan harapan (akan rahmat dan belas kasih Allah), lebih baik daripada ta‟at yang
memberikan rasa mulia diri dan keangkuhan.”
Perasaan hina dan rendah diri karena perbuatan
maksiat yang melekat pada diri, adalah sifat hamba (ubudiyah). Dan perasaan
Maha Mulia dan Maha Besar adalah sifat (Rububiyah). Adapun sifat seperti yang
dimaksud adalah sikap yang harus dimiliki oleh hamba yang melekat pada dirinya
dosa-dosa, hendaklah ia tidak merasa hina dan rendah diri. Ia harus
berpengharapan penuh kepada Allah. Orang yang seperti ini adalah orang yang
lebih baik dari orang yang telah banyak beribadah dan ta‟at kepada-Nya, akan
tetapi tumbuh rasa angkuh dan tinggi diri dengan amal ibadahnya itu.
(c) Bencana sebagai ujian35
“Sebenarnya kesusahan dari bencana yang
menimpamu akan menjadi ringan, apabila kalian sudah mengetahui bahwa Allah
sedang mengujimu. Sedang Dia-lah yang sedang mencoba melalui qadar-Nya. Dia
juga yang telah menganugrahkan kamu unutuk mengadakan pilihan yang baik.”
Apabila manusia memahami bahwasannya suatu cobaan
yang datang dari Allah, diterima dengan ridha hati dan dipahami pula sebagai
menjadi sesuatu yang sangat ringan. Allah memberi cobaaan kepada para
hamba-Nya, tidaklah berarti Allah membenci, akan tetapi Allah menunjukkan kasih
sayang dengan memperhatikan hamba yang dicoba itu.