Shadra secara kategoris menegaskan bahwa jiwa-jiwa binatang dapat hidup, karena mereka terpisah dari materi berdasarkan kenyataan bahwa mereka mempunyai imajinasi. Keterpisahan mereka bukan tidak konsisten dengan kecintaan terhadap kualitas perluasan yang diperlukan bagi imajinasi
![]() |
Mulla Sadra/Foto: Islami.co |
FILSAFAT Islam lahir diawali oleh al-Kindi kemudian diteruskan oleh penerusnya baik yang Platonis maupun Aristotelian. Perkembangan filsafat Islam yang tidak lepas dari pengaruh filsafat Yuniani kemudian membayangi akan akidah dan nilai-nilai perjuangan ummat Islam.
Pada abad klasik
corak pemikiran filsafat Islam sebagaimana dalam filsafat Yunani pemikiran
tentang penggerak pertama menjadi sangat dominan dalam menapaki dunia
intelektual pada waktu itu. Dalam Islam ide-ide tentang yang Ideal kemudian
merucut pada dua tokoh besar filusuf Islam yaitu: Al Kindi dan Ibn Arabi
yang keduanya saling mendefinisikan
Tuhan dengan jalan yang berbeda satu sisi dengan negasi negatifnya sedangkan
satus sisi menggunakan idealisme positif.
Pada abad pertengahan
perkembangan filsafat Islam mengalami dekadensi yang cukup parah hal ini
diakibatkan dari pola hidup kaum elit yang cenderung elitis-hedonis dan
kemudian hal ini ditentang dengan gerakan tasauf, yang juga dianggap
sebagai gerakan mundur dalam dunia
intelektual Islam.[1]
Pada era ini filsafat
Islam hanya sekedar untuk mengulang dan menegaskan
apa yang telah diletakan oleh pendahulu mereka. Alasan yang menyebabkan hal ini
dikarenakan transformasi terhadap penyebaran ide-ide yang cenderung lamban,
faktor geografis, Islam barat, Spanyol dengan ibn Tufayl membahas Hay ibn
Yaqdan yang sebenarnya merupakan replika
dari cerita model Aristotelian.
Kebenaran-kebenaran
tertinggi dalam dunia filsafat Islam masih terdikotomikan dua alur besar:
rasionalsime dan idealisme, dengan berbagai bentuknya yang hingga saat ini
masih menjadi perdebatan. Kebenaran-kebenaran tertinggi ini selalu
diperdebatkan adalah kebenaran metafisik yang menyangkut masalah: mana yang
lebih awal antara wujud dan eksistensi.
Sebab hakikatnya
terasa sangat sulit untuk bisa dipahami. Hal ini lantaran wujud merupakan
sesuatu yang tidak mungkin bisa didefinisikan, mengingat untuk mendefinisikan
suatu "objek", kita butuh sesuatu yang lain yang lebih jelas dari
objek itu sendiri. Dalam konteks wujud, ada objek yang lebih bisa dipahami
ketimbang konsepsi wujud. Menurut para filosof, konsepsi wujud sedemikian
terangnya, sehingga ia persis menyerupai matahari. Karena sedemikian terangnya,
ia tidak mungkin bisa dilihat manusia.
Demikianlah wujud,
begitu jelasnya mafhum wujud, maka ia tidak mungkin bisa didefinisikan lewat
genus (jins) dan diferensia (fasl), yang secara otomatis berarti harus lebih
terang ketimbang wujud itu sendiri. Secara konseptual, kata Sabzawari (w.1289),
mafhum wujud adalah sesuatu yang sangat
jelas dan bahkan aksiomatis. Tetapi realitas wujud adalah sesuatu yang sangat
sulit bisa dipahami.[2]
Secara historis, tema
wujud menjadi tema fundamental metafisika yang didiskusikan oleh hampir seluruh
filosof klasik sejak Aristoteles. Karena itu kita akan dapati hampir seluruh
buku-buku magnum opus filsafat, seperti as-Syifa
karya Ibnu Sina, Hikmah al-Isyraq karya Suhrawardi; bahkan buku-buku kalam
karya Khowajeh Nasiruddin Thusi menempatkan masalah itu sebagai tema
pentingnya.
Namun harus digarisbawahi di sini bahwa mereka masih "sekadar" menempatkan problematika wujud sebagai bagian dari tema-tema universalitas (kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan sebagainya.
Namun harus digarisbawahi di sini bahwa mereka masih "sekadar" menempatkan problematika wujud sebagai bagian dari tema-tema universalitas (kulliyyat) saja, sama seperti masalah-masalah universalitas yang lain seperti problematika substansi dan aksiden, unitas dan pluralitas, dan sebagainya.
Sampai periode awal,
dari aktivitas ilmiah Shadra sekalipun, harus diakui bahwa wujud masih belum
pernah terbuktikan sebagai fondasi dari apa yang disebut sebagai realitas.
Ikhtilaf di kalangan para filosof masih berkisar di seputar masalah prinsipalita
wujud dan mahiyah; mana yang lebih awal atau
lebih prinsipiil, wujud atau mahiyah.
Berdasarkan
penghayatan spiritual yang sangat intensif dan upaya analisis intelektual yang
sangat tajam, akhirnya Shadra melahirkan sebuah gagasan baru dalam filsafat
bahwa wujud bukan hanya lebih prinsip daripada mahiyah, tapi ia juga merupakan
fondasi dari semua yang disebut
realitas; bahkan ia adalah realitas itu sendiri.[3]
Sejak itu, kata
Rahman, wujudiyyah atau eksistensialisme lahir sebagai mazhab filsafat dalam
komunitas Muslim. Tapi perlu kita ingatkan di sini bahwa yang dimaksudkan
dengan istilah eksistensialisme yang diatributkan kepada Shadra berbeda dengan
mazhab eksistensialisme ala barat yang diwakili para filosof seperti
Kierkegaard, Jean Paul Sartre, atau Heidegger.
Mazhab
eksistensialisme Barat tidak lebih dari sekadar sebuah pendekatan untuk
mempelajari manusia, bukan sebuah sistem
filsafat. Ia merupakan sebuah reaksi terhadap dua aliran filsafat yang dominan
di zamannya, yakni materialisme dan idealisme yang gagal memahami eksistensi manusia
secara apa adanya. Sementara eksistensialisme Islam adalah sebuah mazhab
filsafat metafisis yang murni.
Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada realitas wujud yang sebenarnya (the Ultimate Reality). Dengan demikian, nuansa filsafat wujud dalam Islam lebih bersifat theistik bahkan sufistik. Sementara aliran filsafat eksistensialisme barat sebagiannya condong pada nuansa atheistik.
Tujuan utamanya adalah ingin mencari tahu dan bahkan ingin sampai kepada realitas wujud yang sebenarnya (the Ultimate Reality). Dengan demikian, nuansa filsafat wujud dalam Islam lebih bersifat theistik bahkan sufistik. Sementara aliran filsafat eksistensialisme barat sebagiannya condong pada nuansa atheistik.
1.
Ketuhanan
Shadra mengakui bahwa
permasalahan ketuhanan mengandung dasar-dasar pemikiran dan konsep-konsep
fundamental.[4]
Permasalahan
ketuhanan tersebut, baru dapat dipahami ketika dasar-dasar pemikiran dan
konsep-konsep fundamnetalnya dapat dipahami lebih dulu. Pemahaman ini dapat
terjadi melalui dua cara, yaitu melaui intuisi intelektual dan gerak cepat atau
sebaliknya, melalui konseptual dan gerak lambat.
Para nabi memperoleh
pengetahuan tentang ketuhanan, dengan cara yang pertama. Sedang cara yang kedua
ditempuh oleh para ilmuan dan ahli pikir yang selalu menggunakan pertimbangan
akal. Hal ini sangat dipengaruhi oleh konsep jiwanya Ibn Sina dan Ibn ‘Arabi.
2. Alam
Dalam konsep alam
Shadra, alam memiliki dimensi ekternal dan dimensi mental yang abadi yang tersusun atas gagasan, konsep atau essensi
(Ma’ani, Mafahim dan Mahiyah). Yang
dalam pembicaraan Mu’tazilah alam tersebut qadim.
Sementara, Ibn ‘Arabi
menjelaskan bahwa inti substansi alam semesta merupakan nafas Tuhan (nafs
al-rahman) yang diembuskan kepada entitas-entitas permanen (al-a’yan
al-tsâbitah ), Nafas Yang Maha Pengasih adalah substansi yang mendasari segala
sesutu. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa yang ingin mengetahui nafas Tuhan hendaklah
mengetahui alam semesta, karena barang
siapa yang mengetahui dirinya akan mengetahui Tuhannya. Nafas al-Rahman adalah
substansi di mana berkembang wujud materi dan rohani. Kasus Adam yang
dianugerahi nafas, merupakan simbol penciptaan alam (kosmos).
Penciptaan alam dalam
teori Ibn ‘Arabi adalah konsep tajallî (teofani,
penampakan diri) diri Tuhan pada alam emperis yang serba ganda. Konsep tajallî
ini merupakan tiang konsep Ibn ‘Arabi tentang wahdat al-wujud
karena tajallî ditafsirkan dengan
penciptaan, yaitu cara munculnya yang banyak dari Yang satu tanpa akibat, Yang
satu itu menjadi banyak. Tuhan menciptakan alam semesta agar dapat melihat diri-Nya
dan memperlihatkan diri-Nya. Dia mengenal diri-Nya dan memperkenalkan diri-Nya
melalui eksistensi alam. Ibn ‘Arabi banyak menggunakan istilah metaforis dalam
mengungkapkan hubungan Tuhan dan alam, salah satunya adalah tentang cermin.
Alam ini adalah cermin tempat Tuhan melihat diri-Nya. Cinta untuk melihat
diri-Nya merupakan tujuan dan sebab penciptaan alam.
3. Manusia
Menurut Shadra jiwa,
baik jiwa manusia maupun binatang bebas
dari materi. Karenanya, dapat mengada secara mandiri dari badan. Shadra juga
mengatakan bahwa jiwa binatang mengada
secara mandiri. Ajaran ini tidak diketemukan dalam Suhrawardi namun,
kelihatannya muncul dari Ibn 'Arabi.
Dasar ajaran ini,
terutama, untuk membuktikan bahwa jiwa-jiwa
manusia tunggal yang nyaris tidak memiliki aktivitas intelektif, tetapi bekerja
hanya melalui imajinasi juga hidup. Tetapi secara absolut Shadra berpendapat
bahwa wujud yang diberkahi imajinasi bebas dari materi
alam, meskipun ia
tidak dapat bebas dari jenis keluasan dan kuantitas (miqdar) tertentu yang
tentu saja, bukan material. Pandangan
ini, pada gilirannya, bersandar pada ajarannya mengenai Dunia Imajinasi ('Alam
al-Mitsal). Menurut pandangan ini,
imajinasi, meskipun bukan spiritual, bukanlah material juga tidak dikenai
langsung oleh perubahan substantive sebagaimana dunia bentuk-bentuk fisik.
Oleh karena itu, ada dengan sendirinya, bebas dari materi. Ibn
Sina sendiri, meskipun ia memberikan argumen elaboratif dalam karyanya al Najat dan al-Syifa` untuk membuktikan
bahwa imajinasi mensyaratkan organ material agar tertanam dan, karenanya imajinasi
tidak dapat menyelamatkan kematian fisik, mengatakan dalam al Mubahatsat bahwa:
"Jika penerimaan (fakultas atau organ) penerima bentukbentuk dan imajinasi
yang dipahami adalah badan atau daya badan, maka badan tersebut akan ditimpa
pemisahan (tafarruq, yakni diskontinuitas) bagian-bagian ketika makanan masuk
ke dalamnya atau tidak. Alternatif kedua salah karena badan-badan kita ditimpa
oleh kerusakan yang terus-menerus (dengan kelelahan) dan tambahan melalui makanan."
Kesimpulannya, fakultas
semacam itu pasti non material. Tetapi setelah Ibn Sina, sebuah perkembangan
baru yang menyeluruh muncul, periode kembali ke al-Ghazali, yang secara
eksplisit diawali oleh al-Suhrawardi, yang mengatakan imajinasi mempunyai wujud
mandiri dan kehidupan sendiri dalam Dunia Imajinasi ('Alam al-Mitsal), yang ditempatkan
secara ontologis antara dunia gagasan murni spiritual (dapat dipikirkan) dan
dunia materi kasat dan badanbadan material.
Perkembangan ini,
memudahkan Shadra untuk meyakini bahwa imajinasi - dunia gambar - gambar yang
diperluas - bukan bagian dari alam material.
Shadra berpendapat
bahwa kesadaran diri tidak terbatas pada jiwa rasional, yakni manusia -
sebagaimana para filosof berpendapat - tetapi juga merupakan sifat pokok imajinasi. Ibn Sina bingung ketika ditanya,
apakah binatang mempunyai kesadaran diri
dan apakah wujud binatang mempunyai prinsip di mana ia memelihara kesatuan
wujudnya sepanjang hidup meskipun badannya berada dalam perubahan konstan.
Ia menjawab bahwa binatang barangkali tidak menyadari diri mereka, tetapi hanya obyek-obyek yang mereka pahami dan direaksi, atau bisa jadi mereka mempunyai kesadaran yang samar akan diri mereka melalui persepsi terhadap obyek-obyek eksternal. Terhadap pertanyaan kedua, ia sangat ragu-ragu dan menunjuk pada beberapa alternatif, yang dalam salah satunya ia menegaskan bahwa binatang (dan barangkali juga tumbuh-tumbuhan).
Ia menjawab bahwa binatang barangkali tidak menyadari diri mereka, tetapi hanya obyek-obyek yang mereka pahami dan direaksi, atau bisa jadi mereka mempunyai kesadaran yang samar akan diri mereka melalui persepsi terhadap obyek-obyek eksternal. Terhadap pertanyaan kedua, ia sangat ragu-ragu dan menunjuk pada beberapa alternatif, yang dalam salah satunya ia menegaskan bahwa binatang (dan barangkali juga tumbuh-tumbuhan).
Bagaimanapun juga,
Shadra secara kategoris menegaskan bahwa jiwa-jiwa binatang dapat hidup, karena
mereka terpisah dari materi berdasarkan kenyataan bahwa mereka mempunyai
imajinasi. Keterpisahan mereka bukan
tidak konsisten dengan kecintaan terhadap kualitas perluasan yang diperlukan
bagi imajinasi.
Shadra menggunakan
argumen lama bagi kesatuan dan keabadian jiwa manusia, di mana badan manusia
berada dalam perubahan yang terus-menerus, sementara jiwa dalamnya tetap sama,
untuk membuktikan kesatuan dan keabadian jiwa binatang, karena badan binatang
juga berada dalam perubahan yang terus-menerus, sedang jiwa dalamnya tetap
sama. Adalah jelas, tegas Shadra, bahwa argumen ini berlaku untuk binatang
sebagaimana ia juga berlaku.
Sumber bacaan:
[1] Tentang
perdebatan tasauf sebagai gerakan
rejection terhadap hedonisme pada waktu itu atau sebagai gerakan filsafat itu
sendiri baca Fazlur Rahman, Islam, Bandung: Pustaka, 1999
[2] Armahedi Mazhar, “Mencari Kesatuan
dalam Kemajemukan Realitas” dalam Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, Bandung:
Pustaka, 2000
[3] Untuk lebih rinci
tentang perkembangan historis ini lihat MM. Sharif dalam Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1995; Rahman dalam Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka, 2000.
[4] Haidar Bagir
“Suatu Pengantar kepada Filsafat Islam Paca Ibn Rusyd” pengantar edisi bahasa
Indonesia dalam Murtadla Muthahhari,
Filsafat Hikmah: Pengantar pemikiran Shadra, Bandung: Mizan, 2002